Malam sudah jauh meninggalkan senja jingga.
Wajah desa tampak sempurna disepuh purnama. Angin malam tergesa-gesa
masuk melalui celah dinding papan. Dingin. Aku memasukkan kakiku ke
dalam sarung hijau kotak-kotak, yang kalau pagi hari, juga kugunakan
sebagi handuk. Kubenarkan posisi kepalaku di atas bantal yang tak lagi
empuk. Mataku tertuju ke balik pintu kamar. Di sana tergantung pakaian
yang akan kukenakan besok pagi. Baju biru muda berlengan panjang
bermotif garis-garis vertikal dan juga celana panjangku. Oh... itu
celana panjangku yang pertama. Tadi siang, aku dan nenek membelinya dari
pasar yang sekali seminggu di kota kecamatan.
"Yang ini saja ya, Mara?
Cobain dulu, nah." nenek menyodorkan sepotong celana panjang berbahan
denim. Aku mengangguk dengan senyum. Girang tak terkira. Aku disuruh
mengepas celana panjang nomor dua puluh enam. Pas dan nyaman dipakai.
Rasanya aku tak ingin menanggalkannya dari tubuhku.
Mestinya, nenek tidak perlu lagi menyuruhku mengepas celana nomor dua
sembilan itu karena sebelumnya sudah mengepas ukuran dua enam yang
pantas untuk ukuran tubuhku. Aku senyum. Berusaha menutupi
ketidakpuasanku kepada putusan nenek. Aku tak mau nenek kecewa karena
beliau segalanya bagiku sepeninggal ibu kandungku yang konon pergi
dengan lelaki lain.
"Masih lebih baik kelonggaran daripada kesempitan," gumamku dalam hati.
"Daripada seperti celana si Rikson, robek persis di belahan pantatnya
ketika dia naik ke atas panggung pada perayaan tujuh belasan dulu.
Ih....., malunya bukan kepalang! Kalaupun terlalu besar, nanti setiba di
rumah aku minta saja kepada kakek supaya dikecilkan." Aku menghibur
diriku sendiri.
Dipermak tanpa menggunting, celanaku menjadi sedikit nyaman dipakai.
Kelak jika sudah sempit, jahitannya bisa dibuka lagi, kata kakek
memberitahu alasannya dipermak sedemikian rupa. Kakek memang tukang
jahit terbaik di kampung. Dari desa tetangga juga menjahitkan pakaiannya
kepada kakek. Sudah barang tentu pakaian kami juga. Nenek cukup
membelikan bahan kain di pasar, kakek akan menjadikannya celana atau
baju untuk aku dan abangku, Jogi. Kami selalu dijahitkan pakaian yang
sama. Serperti anak kembar saja kami diperlakukan dalam hal pakaian.
Memang, tubuh kami juga hampir sama besarnya walau usia kami terpaut dua
tahun. Betul kata nenek, aku memang bongsor. Karena sudah buru-buru
untuk kupakai, kakek dan nenek sepakat untuk membeli celana jadi dari
pasar saja. Oh, aku hampir lupa, nenek juga membeli celana dan baju buat
abangku Jogi. Hanya saja......
"Aku tidak mau memakai celana selonggar ini, Nek! Dan aku juga gak mau
celana ini dipermak. Tunggu saja sampai ukuran badanku sebesar ukuran
celana ini." Kata abangku lantang tak tahu diri.
"Aku malu sama teman-teman, Nek. Nanti dikira orang lagi celana ini
celana curian Ayah!" Suaranya gemetar menahan tangis di tenggorokannya.
Baru kali ini aku melihat wajah Jogi begitu sedih bercampur kesal.
Memang, menyakitkan sekali tudingan-tudingan Rikson, anak juragan
Salamun. Pernah digosipkan bahwa ibu kami binal dan ayah kami seorang
copet di kota. Dua tahun lalu, Rikson juga pernah menebar fitnah bahwa
sepatu baru kami adalah hasil curian ayah di kota. Padahal, sepatu itu
nenek beli dengan hasil menjual kapuk yang sudah lima tahun dikumpulkan.
Tampaknya nenek sangat memahami kenapa Jogi sesedih itu. Dipeluknya
Jogi yang duduk di dekatnya. Diusapnya kepala yang sedang sesenggukan
menahan tangis.
Kakek diam seribu bahasa. Sesekali kulihat kakek menjemput udara ke
dadanya. Selalu saja kakek seperti itu bila pembicaraan kami mengenai
ayah, anaknya semata wayang. Dari tatap matanya yang hampa, kutahu rindu
sudah mengepungnya dari segala penjuru.
***
Kukuruyuk si Altong, ayam jantanku, menyambar telingaku. Sontak aku
berhenti memutar ulang peristiwa tadi sore. Kulihat weker masih di
posisi dua limabelas. Ah, kali ini si Altong ngawur. Mungkin dia ingin
segera cepat-cepat bertandang ke kandang ayam tetangga. Seperti aku yang
sudah tidak sabar mengenakan celana panjangku.
Kupejamkan mata dan berharap segera tidur lelap. Kututupi wajah dengan
bantal yang seharusnya di bawah kepalaku. Baunya sarat getir dan pedih.
Di sana, banyak kutumpahkan cerita rindu kepada ibu. Rindu yang
bergulung-gulung kepada ibu kandung. Ingin sekali aku melihat rupa
ibuku. Konon, aku mirip dengan ibuku, rambutnya lebat seperti rambutku,
tatap matanya seperti tatap mataku, tidak seperti tatap mata Jogi yang
dingin. Kepada ayah juga aku rindu. Ingin sekali aku ditemani ayah saat
menerima rapor dan menerima hadiah juara kelasku.
Walau tak pintar, Jogi tidak cengeng seperti aku. Dia sering berkelahi
dengan teman sebaya kami. Rikson pernah dihajarnya babak belur, bibirnya
pecah, tangannya keseleo karena dipelintir abangku. Nenekku menawarkan
diri untuk mengurut Rikson tapi orang tuanya tidak sudi. Kakek sangat
geram mengetahui Jogi berkelahi lagi. Di depan teman sebaya kami, kakek
menghukumnya dengan melibaskan ranting kopi di kakinya. Dia tidak
menangis saat menerima hukuman itu. Juga tidak minta ampun agar kakek
segera menghentikan pukulannya.
Aku pernah melihatnya menangis. Sekali. Malam itu, di dekat mesin jahit
di sudut rumah. Dia mendongakkan wajahnya ke atas hingga bagian
kepalanya menempel di tiang kayu rumah. Kulihat air bergulir dari
matanya. Oh, air mata itu sangat langka. Tentu saja aku juga menitikkan
air mata. Aku berpura-pura tidak melihat. Buru-buru kuseka air mataku
dengan bantal. Aku berpura-pura tidur lelap. Tak lama Jogi mendekatiku
dan membaringkan tubuhnya di dekatku, di sebelah kananku. Diselonjorkan
kakinya masuk ke dalam sarung birunya. Aku membelakanginya. Seperti
biasa kami selalu tidur saling membelakangi. Aku kaget sekali ketika dia
memelukku dari belakang. Baru kali itu dia memperlakukan aku adiknya
sedemikian rupa. Nyaman sekali. Tidurku pun pulas.
"Bangun, Mara, sudah pukul lima!" Jogi menggoyangkan tubuhku yang
kutekuk karena dingin. Kulihat dia sudah rapi dengan seragam sekolah.
Aku beringsut ke tepi ranjang yang berderit-derit menahan tubuhku.
Kulihat Jogi pamit kepada nenek, dia hendak berangkat ke sekolah. Aku
minta ijin sehari tidak masuk sekolah karena hari ini aku diajak kakek
ke kota memenuhi undangan Pak Johan, teman kakek seperjuangan masa
penjajahan dulu. Putra Pak Johan menikah dengan seorang gadis Belanda.
Kakek menjadi protokol adat dan juga sebagai penerjemah.
***
"Amangboru, si Jogi di kantor polisi!" kata Herman dengan nafas
tersengal-sengal mendekati kami yang baru tiba di kota kecamatan.
"Hah?"
"Di kantor polisi mana? Kenapa sampai masuk kantor polisi?"
"Di kantor polsek itu, Amangboru!" jawab Herman seraya menunjuk kantor
polisi yang memang dekat dengan tempat kami turun dari bis tadi.
"Dia menikam Salamun dengan bayonet!" lanjut Herman sembari mengangkut tas kakek. Dibawanya langkah kami ke arah kantor polisi.
"Kenapa bisa sampai begitu?" tanya kakek lagi seraya menambah laju langkah menyejajari langkah Herman.
"Tanyakan langsung saja nanti kepada Jogi, Amangboru," sahut Herman gesit.
"Jogi menikamnya dengan bayonet yang sangat tajam. Itu bayonet
Amangboru, bukan?" tambah Herman lagi. Dia selalu tertarik dengan
peralatan atau senjata dari besi. Maklum, Herman seorang pandai besi.
Tak menjawab, kakek tergesa-gesa melangkah mendahului Herman masuk ke
kantor polisi. Kakek menemui seorang anggota polisi yang bertugas.
Polisi itu terlihat sangat hormat kepada kakek. Anggota polisi yang lain
mengantarkan kami menemui Jogi yang sedang terduduk di balik jeruji.
Jogi sangat terkejut melihat kedatangan kami. Mukanya tampak biru. Masih
ada sisa darah kering di bibirnya yang pecah. Jogi pasti dihajar
habis-habisan oleh keluarga korban. Aku menghambur mendekatinya. Kuraih
wajahnya dari balik jeruji besi. Kuletakkan tanganku di kedua pipinya.
Air mataku mengucur deras melihat derita di wajahnya. Kusingkap baju
napi yang dipakai. Astaga, tubuhnya dipenuhi biru lebam. Ingin kupeluk
abangku yang baik ini. Ingin sekali aku menggantikannya dipenjara. Ingin
kugantikan dia merasakan sakit di tubuhnya. Kuremas jeruji besi seakan
mencekik leher Salamun. Aku tahu betul alasan Jogi berbuat semua ini.
Sudah lama dia ingin mengambil bayonet kakek dan membuat perhitungan
kepada penebar fitnah keji itu.
Kakek tertunduk lesu. Disekanya air yang tersisa di sudut matanya. Tak
lama, kakek menemui penjaga lagi. Mungkin mereka membicarakan sesuatu
yang penting dan rahasia sehingga polisi itu menutupkan pintu. Dari Bang
Jogi aku tahu bahwa kejadiannya dua hari yang lalu. Bersamaan pada hari
kami berangkat ke kota. Jogi bolos dari sekolah hari itu dan segera
mencari-cari bayonet kakek di rumah, saat nenek sudah di ladang memetik
kopi. Setelah mendapatkan bayonet, Jogi menuju kedai kopi tempat Salamun
biasanya main catur. Baju seragam sekolahnya sengaja tidak dimasukkan
ke dalam celana. Seperti seorang pendekar yang selalu siaga membela
diri, dia menyelipkan bayonet tajam itu di pinggangnya.
Seperti biasa, Salamun banyak cakap saat main catur. Kadang dia membuat
lelucon dengan berbual. Penduduk desa pun tampak senang mendengar
bualannya walau kerap juga menyakitkan. Kalau ada orang yang tersinggung
dengan banyolannya, biasanya orang itu akan mendiamkannya saja. Takut
masalah jadi panjang. Dan, konon Salamun berilmu tinggi juga kebal
senjata.
Tapi jangan menyinggung perasaan abangku Jogi. Mungkin karena kekurangan
bahan lelucon, Salamun menyebut lagi kalau ibu kami pernah ditidurinya.
Keterlaluan, begitu dalam hati Jogi saat menancapkan bayonet di
punggungnya. Lima bacokan mendarat di tubuh bagian belakang Salamun dan
tujuh di bagian depan. Terjadi perkelahian yang hebat di kedai kopi.
Salamun tidak mati. Mungkin karena bacokan Jogi tidak menyasar ke bagian
vital atau karena tenaganya saat membacok tidak sekuat orang dewasa.
Palu diketuk, Bang Jogi dihukum penjara.
"Saat bebas nanti, kamu sudah cukup besar memakai celana panjang itu!" kata kakek bergurau sembari memeluk kami berdua. ***
Jakarta, Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar