Senin, 03 September 2012

Istriku


 Artikel di sebuah majalah bekas yang kubaca mengatakan bahwa pria cenderung menjadi gemuk setelah menikah. Alasannya, karena pola hidup si pria menjadi lebih baik dan teratur. Tak kalah pentingnya faktor psikis, si pria merasa nyaman dan tenteram.
"Mungkin, hanya akulah pria di dunia ini yang menjadi kurus setelah menikah!" gumamku dalam hati.

Dengan sengit kulempar majalah bekas ke atas meja. Praaak!!! Tak cukup hanya itu, kutendang lagi kaki meja di hadapanku. Tentu tak sekuat tenaga. Kusetel televisi dengan volume keras. Aku membuat suara gaduh supaya wanita itu terusik dari tidurnya. Lalu terbangun dan segera membuatkanku secangkir kopi serta menemaniku menonton pertandingan sepak bola. Ah, keterlaluan bila aku mengharapkan hal-hal seromantis itu darinya. Dibukakan pintu sepulang kerja saja aku tak pernah lagi. Bukankah kunci duplikat rumah kita juga ada padamu, katanya tanpa merasa berdosa.

Menyebalkan, komentator bola itu masih saja asyik dengan ulasannya tentang kedua tim yang berlaga. Kubiarkan televisi menontonku sedang membuatkan secangkir kopi. Sendok pun kubenturkan keras-keras ke cangkir saat menyeduh kopi. Bahkan dengan sengaja pula kujatuhkan ke lantai sebuah panci aluminium beserta tutupnya. Praaaaaang!

Kuintip wanita itu di kamar. Alamak, dia tak mendengarnya? Masih meringkuk seperti tadi. Kudekati untuk memastikan. Benar, dia pulas dengan dengkuran level tiga. Kalau dengkurannya sudah di level lima, aku harus menutup pintu kamar. Aku khawatir dengkuran level limanya mengganggu konsentrasi para pemain bola yang sedang bertanding di televisi. Tanpa remote control pun, channel televisi bisa berpindah karena dengkurannya.

Kuseruput kopiku dan kurasakan hangatnya melalui tenggorokan. Kuselonjorkan kaki di atas meja dan bersiap untuk suguhan pertandingan. Seperti biasa, beberapa iklan dulu. Entah pertimbangan apa produk rokok menjadi sponsor olah raga di negeri ini. Bedebah! Komentatornya muncul lagi hanya untuk mengucapkan salam berpisah. Ternyata pertandingan yang kutunggu-tunggu sudah usai saat tadi aku menyetel televisi. Dalam keadaan seperti ini, aku harus menemukan seseorang untuk disalahkan. Mataku segera menjelajah seluruh sudut rumah dan mencari-cari yang bisa kujadikan sebagai kambing hitam kejadian bodoh ini. Tentu saja mataku yang sakti dapat menembus gordyn tebal di pintu kamar dan menemukan sesosok tubuh di sana.

Aku duduk di tepi ranjang. Wanita itu masih pulas dalam tidurnya. Lehernya mendongak. Posisi yang pas sekali untuk mencekiknya, pikirku. Jantungku makin cepat memompakan darah ke seluruh tubuhku. Dadaku berdebar-debar ketika kedua telapak tanganku hampir menyentuh lehernya. Lama tanganku bergetar di atas lehernya. Kudengar suara cicak di ruang tamu mengejekku yang tak bernyali membalaskan dendam.

Aku perlu mengumpulkan keberanian untuk melakukannya, pikirku.

Kusambar kunci rumah di atas televisi. Aku keluar rumah menuju tempat sampah. Disana kulihat tujuh pot kaktusku meradang tak berdaya. Kemarin, dengan mata kepalaku sendiri, kulihat wanita itu menendangnya dari teras. Enggak ada indahnya kaktus ini, lebih baik digantikan dengan anggrek atau bunga lainnya, katanya. Anehnya, aku tak mencegah wanita itu melakukan aksinya. Bahkan aku terkesima dengan akurasi tendangannya. Bagaimana dia bisa menendang pot bungaku seakurat tendangan Bekham memberi assist kepada striker. Tujuh tendangannya sukses memasukkan pot bungaku ke dalam tong sampah.

Kulihat penderitaan kaktus-kaktusku. Aku terenyuh. Mereka hanya menaruh harapan padaku. Aku pun berbisik-bisik kepada satu per satu kaktus-kaktusku untuk tetap tabah akan cobaan yang menimpa mereka. Dan, aku akan menuntut balas atas kesewenang-wenangan ini.

Kukepalkan tinju. Aku masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu. Pasti kaktusku senang melihat kegeramanku. Atau, mungkin mereka sedang berbisik satu sama lain soal kepahlawanaku. Dengan kasar aku sibak gordyn pintu kamar. Mataku melotot penuh geram. Nafasku tersengal hingga cuping hidungku mekar. Tiba-tiba aku disambut bunyi peluit aneh. Puih…. seisi kamar disesaki aroma tak sedap. Aku menutup hidung dan mundur teratur. Mungkin wanita ini terlalu banyak memakan kubis tadi siang.

Dengan masih menutup hidung, aku duduk di sofa sambil mengipas-ngipaskan majalah di depan wajah. Soal makan memang wanita ini jagonya. Selera makannyalah yang membuatku diterima bekerja sebagai koki di sebuah restoran. Wanita ini beserta gengnya yang berjumlah belasan orang menjadi pengunjung tetap di restoran tempatku magang. Wanita ini tampak akrab dengan pemilik restoran. Pernah aku melihat mereka berbincang seraya sesekali melirik ke arahku. Pemilik restoran hanya mengatakan bahwa aku punya hoki di restoran ini.

"Namaku Sere, nama kamu Damara ‘kan?" katanya saat pertama kali kami berkenalan.

"Iya, betul, namaku Damara!" sahutku.

"Kare Kepiting Mangga Mudamu enak. Aku dan teman-temanku suka!" pujinya.

"Terimakasih sudah memujiku," ucapku sambil menunduk. Tentu dengan senyum manis yang aku bisa.

Dia juga senyum. Manis sekali. Giginya rapi dan putih. Layak menjadi bintang iklan pasta gigi.

Setelah berkenalan tiga bulan lebih, kami semakin akrab. Kami semakin sering bertemu di luar restoran. Karena sudah mengenal sifatnya yang blak-blakan, aku tak kaget ketika dia mengatakan keinginannya untuk meningkatkan hubungan kami ke taraf pacaran.

Tetapi ketika hubungan kami meningkat ke taraf yang lebih serius, bertunangan, aku menjadi sulit tidur. Suhunan, temanku sepemondokan, juga punya andil besar atas keragu-raguanku ini. Betapa tidak? Suhunanlah yang meletakkan masalah ini di dalam otakku. Sebelumnya, hanya berupa spora beterbangan di atas kepala.

"Aku enggak yakin kalau Sere itu benar-benar perempuan, Damara!" kata Suhunan suatu ketika di lapangan bulutangkis.

"Maksudmu?" tanyaku sedatar mungkin. Semoga saja Suhunan tidak mengetahui bahwa aku juga mencurigai hal yang sama. Soalnya, aku pernah dibantingnya hanya dengan sebelah tangan. Tenaganya sangat kuat layaknya seorang pria perkasa.

"Kamu tak lihat berita di koran-koran itu? Berita siang di televisi pernah menyiarkan bahwa seorang pengantin perempuan itu ternyata seorang laki-laki. Nah, kamu mau nasibmu seperti yang di koran-koran atau di tivi itu?" tanya Suhunan dengan nada serius.

Aku termangu.

"Mumpung belum terlanjur, pastikan dulu bahwa dia itu benar-benar perempuan,"

"Caranya?" tanyaku sangat polos dan berharap mendapatkan saran yang jitu.

Mendengar pertanyaanku, Suhunan tertawa sampai mengeluarkan air mata. Bahunya berguncang-guncang. Perutnya pun naik turun memompa udara ke tenggorokannya untuk menghasilkan tawa yang keras. Banyak orang menoleh ke arah kami karena suara tawanya.

Beberapa saat kemudian, Suhunan menarik tanganku dan bergegas masuk ke kantin. Kami duduk di meja paling pojok. Otakku merekam semua saran dari sobatku ini tanpa terlewat sedikit pun. Ternyata begitu mudahnya memastikan jenis kelamin Sere. Hmm, Suhunan memang seorang laki-laki berpengalaman dan cerdas, pujiku dalam hati. Andai saja aku tak punya teman cerdas seperti Suhunan, tentulah aku akan habis dihajar oleh Sere. Bagaimana tidak? Aku hanya tahu satu cara untuk mengetahui jenis kelamin seseorang yang kita ragukan, yakni: melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Mengikuti saran sobatku, maka kumulai ikhtiar memastikan jenis kelamin Sere. Pikiranku sudah terfokus ke sana. Maaf, maksudku, aku harus sesegera mungkin memastikan jenis kelaminnya sebelum menyetujui pertunangan kami.

Sebelum dipersilakan masuk ke gedung theater XXI, kami duduk di cafetaria dan kulemparkan sebuah teka-teki padanya.

"Coba tebak! Bersayap dan penghisap darah, apa coba?"

"Nyamuk!" jawabnya sambil menyentil kupingku seolah itu adalah taruhannya.

"Salah!" sahutku.

"Apa, dong?"

"Pembalut!" jawabku sambil menyentil daun telinganya tapi tak kena karena dia sudah siap untuk mengelak.

Sere tertawa.

"Ngomong-ngomong, pembalut merek apa yang paling nyaman kamu pakai?"

"Nggak ada yang benar-benar nyaman," jawabnya.

"Maksudmu tak satu pun dari merek pembalut itu yang benar-bear nyaman dipakai?"

Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik bahwa dia tak suka menggunakan pembalut. Mendengar pengakuannya, mulutku hanya bisa menganga tanpa bicara. Tak salah lagi, dia seorang laki-laki. Ampun, Gusti! Tubuhku berkeringat di dalam gedung XXI yang dingin. Film yang diputar di layar lebar pun hanyalah gambar-gambar bergerak yang tak kumengerti. Suara Dolby Stereonya

pun hampir tak kudengar. Yang ada di pikiranku hanya sebuah kejadian memalukan. Aku bertunangan dengan seseorang yang berkelamin sama denganku, laki-laki.

Setahun bertunangan dengan Sere, berarti setahun pula aku tersiksa oleh keragu-raguanku sendiri. Bahwa aku mampu bertahan sejauh ini, mungkin hanya karena besarnya keinginan untuk memastikan keperempuanannya.

Tujuh tahun aku sudah menikahinya. Dia belum melahirkan seorang anak pun untukku. Banyak upaya yang sudah kami lakukan bersama. Konsultasi ke beberapa dokter ahli bahkan ke pengobatan alternatif. Dokter Lismawan menyarankan supaya Sere benar-benar istirahat, jangan terlalu letih. Sere mengikuti saran dokter itu dan meninggalkan pekerjaannya sebagai reporter televisi swasta. Hampir enam bulan dia seperti Ratu tidur. Setelah meminum obat, dia akan tidur pulas dengan berbagai suara dengkuran. Dari catatanku, ada sebelas jenis suara dengkurannya. Kali ini dengkuran jenis kesembilan. Tak salah lagi, ini dengkurannya yang paling kusuka. Seperti lagu nina bobo di telingaku.

Suara dengkuran itu pun semakin menghilang di pendengaranku. Samar-samar kulihat sesosok wanita menghampiriku. Wajahnya mirip nenek lampir. Bahkan lebih seram lagi. Betapa tidak, semua tubuhnya ditumbuhi duri yang sangat tajam. Persis seperti duri kaktus. Dari warnanya yang hitam berbelang kuning, pastilah duri itu sangat beracun. Aku melihat dengan jelas duri-duri di telapak tangannya. Dia mencekikku sekuat tenaga. Duri-duri beracun itu menancap di leherku. Aku berteriak dan meronta-ronta berupaya melepaskan diri. Kakiku menjuntai ke bawah. Meraba-raba pijakan untuk meloncat ke dalam jurang. Daripada menjadi budak bagi nenek kaktus, lebih baik aku melompat ke jurang saja, pikirku. Dan, aku pun melompat. Lebih tepatnya, aku menjatuhkan diri. Gubrakkkkk!!!

"Mimpi buruk lagi ya, Bang?" Tanya seseorang yang baru keluar dari kamar mandi.

Wanita itu tertawa terpingkal-pingkal seperti sedang menonton acara lawak di sebuah televisi swasta.

Aku mendapati tubuhku tergeletak di lantai sejajar dengan sofa. Buru-buru aku bangkit dan duduk di sofa. Tapi, aku masih linglung ketika memandangi tubuh istriku berbalut handuk. Kusentuh tubuhnya dengan lembut. Tidak berduri sama sekali. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar