Sore sangat teduh, angin pun bertiup tenang
menyejukkan tebing dan ngarai. Di bawah sana, hamparan sawah menguning
terlihat indah dari tebing ini. Dengan hati-hati sekali, aku menjejakkan
kaki di batu pijakan yang sempit. Aku mulai memotret elang yang sedang
menyuapi anaknya. Beberapa kali sudah kupotret momen indah itu. Mata tak
kujauhkan dari kamera karena sekaligus kupakai sebagai teropong. Ada
dua anaknya, belum sempurna ditumbuhi oleh bulu. Keduanya bercericit tak
sabar menerima suapan dari sang induk. Tak begitu lama, mangsa itu
sudah berpindah ke perut anak elang. Tiba-tiba sang induk mengepakkan
sayapnya sampai-sampai ranting di sarang sebagian terjatuh. Suaranya
melengking di udara. Ups, sang induk menyadari kehadiranku di sana dan
terbang marah ke arahku. Kali ini, aku yang kaget. Praakkk...
Banyak orang berdiri di
sekeliling ranjangku. Mereka membicarakan elang yang sangat sayang
kepada anaknya. Tapi, tak satupun dari mereka yang senang dengan induk
elang yang penuh kasih sayang. Aku sangat ingin menjadi anak elang itu.
Dekat dengan ibu yang sangat penuh rasa sayang. Ibu...... sembilan bulan
sepuluh hari aku di rahimmu, sembilan bulan duapuluh hari aku ibu
susui. Hanya sesingkat itu aku disebut punya ibu. Mengapa harus
meninggalkan aku hanya karena lelaki itu tak sehebat ayah?
Walau ditemani banyak orang, liang sunyiku tampak legam di dalam. Tidak
seperti biasa, mereka berbicara seperti membaca puisi tentang langit
yang tak pernah kumengerti. Selang berapa waktu, kudengar seorang dari
mereka menyanyikan lagu yang kuhafal betul liriknya dan lagunya. Aku
juga mendengar suara gunting berdenting. Perlahan, suara gunting berubah
menjadi tangis yang sendu. Aku ingin sekali melihat siapa yang menangis
di dekatku, tapi aku sangat lelah dan tertidur. Dalam mimpiku, tangis
itu adalah milikmu, Lowry.
"Ayo, diminum dulu obatnya," katamu layaknya kepada anak kecil.
"Baik, bu dokter!" jawabku.
Kau tidak secerewet dulu lagi, Lowry. Hanya sedikit kau bicara kepadaku,
itu pun hanya penjelasan obat yang harus kuminum. Sesekali kau
tersenyum. Aku sangat suka dengan senyummu itu. Masih seperti dulu,
rambutmu yang keriting spiral juga menawanku di setiap lekuknya. Aku
masih ingin menatap wajahmu, tapi obat yang barusan kutelan mengantar
aku ke tidur yang lelap. Masih kurasakan genggaman tanganmu yang hangat.
Ketika terjaga di tengah malam, rasa nyeri di kaki dan kepalaku
membuatku meringis. Aku menghubungimu di handphone yang baru tadi siang
nomornya kau berikan. Aku telpon supaya kamu membelikan aku sebungkus
nasi Padang dengan lauk ayam bakar, telor bulat dan pergedel. Rasa
laparku terasa sangat hebat. Akan segera datang, jawabmu di ujung
telpon, karena rumah makan Padang duapuluh empat jam, ada di depan rumah
sakit tempatku dirawat, juga tempatmu bekerja sebagai dokter.
Kupandangi fotomu yang ada di handphoneku. Tadi siang kau peluk aku
sembari menjepretnya dengan Blackberry-mu, kau kirim ke handphonku via
bluetooth. Kau tersenyum, manis sekali.
Aku tersenyum mengingat kebetulan-kebetulan seperti ini hanya ada di
film layar lebar yang pernah kita tonton dulu. Rasa sakit dan rasa lapar
bisa aku lupakan, tapi pertemanan denganmu takkan mungkin kulupakan.
Kelas tiga sekolah dasar, walau usia kita terpaut dua tahun, aku satu
kelas denganmu. Aku tinggal kelas di kelas tiga, dan kamu masuk sekolah
dengan usia lebih muda dari umumnya usia masuk sekolah. Kau anak yang
pintar dan selalu menjadi juara kelas. Aku sering bertandang main ke
rumahmu sekalian mengerjakan pekerjaan sekolah. Kau juga sering datang
bertandang ke rumahku. Kalau ayahmu pulang dari luar kota, selalu saja
beliau membawakan untukku oleh-oleh pensil warna. Beliau tahu aku suka
mengajari adikmu Ando menggambar. Kata ayahmu yang pegawai bank
pemerintah itu, aku sangat berbakat menjadi pelukis. Aku senang bila
ayahmu yang memuji.
Sering juga kamu kuajak ke ladang nenekku mengambil jambu biji, mangga,
langsat dan rambutan bila musimnya. Kau sangat suka makan tebu. Manja
sekali kau bila memintaku untuk mengupas kulit tebu dan
memotong-motongnya. Sering, tebu yang kukupas lebih banyak untukmu
daripada untukku sendiri. Belum lagi jambu biji yang kupetik, semuanya
kau bawa pulang ke rumahmu sebagai hadiah buat adikmu Ando. Kau senang
sekali hingga saat pulang, kau berlari kecil sambil menari-nari dengan
sekantong buah di tanganmu. Kadang-kadang kau berputar layaknya penari
balet. Rambut keritingmu juga menari-nari di hadapanku. Sepanjang
perjalanan pulang ke rumah kau menandai jalan dengan ampas tebu dari
mulutmu.
Ketika sekolah pulang lebih awal, bersama teman sekelas, kita ke ladang
nenekku lagi. Entah bagaimana kau menceritakan kepada teman-teman
tentang ladang nenek yang banyak buah-buahan itu hingga mereka juga
menuntut untuk ikut berpesta. Aku senang melihat semua teman kita lahap
menyantap buah yang ada. Jambu air sedang musimnya. Teman-teman sibuk
memunguti buah jambu air yang kupetik dan memasukkannya ke kantong
plastik untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.
Kau tidak mau buah yang terjatuh ke tanah, walaupun itu baru dipetik.
Kau memang sangat manja padaku. Apalagi di hadapan teman-teman kita,
kukira kau sedikit berlebihan. Akhirnya aku memanjat pohon jambu itu
dengan membawa kantong plastik. Penuh sekantong kubawa turun. Karena
leher dan mataku digigit semut rangrang, aku melepas pelukan tanganku
dari pohon dan akupun terjatuh. Tidak tinggi memang tempatku jatuh, tapi
cukup membuatku tak bisa bangkit berjalan. Kakiku keseleo.
Kau menangis memegangi kakiku yang keseleo. Teman-teman memanggil nenek
ke gubuk yang ada di ladang tak jauh dari pohon jambu. Nenek memapahku
ke gubuk untuk diurut. Kau pun ikut-ikutan memapahku di sisi yang lain.
Tertatih aku berjalan sambil merangkul nenek menuju gubuk. Teman-teman
saling berbisik mengikuti dari belakang, tapi tetap memegang jatah jambu
masing-masing.
Saat diurut, walau terasa sakit sekali, aku tidak menangis. Kau masih
saja menangis sesenggukan. Kau bantu nenek mengurut kakiku, tanganku
juga kau pijit walau aku tak mengeluhkannya sama sekali. Saat itulah
pertama kalinya kau bercita-cita menjadi dokter. Biar bisa merawatku,
katamu masih terisak. Kau katakan itu kepada nenek dan teman-teman jadi
saksinya.
Nenekku hanya tertawa melihat keluguanmu yang lucu. Nenek menyeka air
matamu. Nenek menghiburmu dengan mengambil tebu dan mengupas serta
memotong-motongnya. Kucoba berdiri tanpa menunnjukkan rasa sakit
bermaksud supaya kau mau menerima tebu kesukaanmu dari nenek. Kita pun
tertawa bersama.
"Kok tertawa sendiri, Yud?" katamu menggunting nostalgia yang mengikatku di masa silam.
"Eh, nasi Padang datang. Aku sangat lapar, nih," kataku bergegas duduk.
"Itu pertanda kau sudah pulih, Yud."
"Kusuapin, ya," katamu sambil membuka bungkusan nasi.
"Eits, aku gak usah disuapin, Lowry," kataku menolak karena tak suka bermanja.
"Biar seperti foto elang yang kamu potret itu!" katamu sembari menunjuk
foto-foto yang ada di atas meja. Kau mengambil foto-foto itu dan
memberikannya padaku.
"Dino, temanmu yang menitipkannya tadi siang saat kau sedang tidur."
katamu menyebut temanku mendaki. Dia temanku kuliah pascasarjana yang
juga hobby mendaki dan photografi.
"Kameraku bagaimana, Lowry?" tanyaku.
"Ada di tempat kostmu. Tidak rusak sama sekali!" sahutmu. Aku masih
membolak-balik semua foto. Ada 168 lembar foto dan semua aku suka. Mulai
dari anggrek hutan, ular sanca yang sedang mengganti kulitnya hingga
foto elang yang menyuapi anaknya.
Dan benar seperti anak elang itu, aku mengangakan mulut menyambut suapan
demi suapan. Aku lahap sekali dan tak mengira sebungkus nasi padang
sudah ludes diringkus rasa laparku. Kau tampak senang dan segera memulai
bernostalgia tentang masa-masa kita SMP.
Kau terpingkal-pingkal saat kuulang cerita yang sama-sama kita alami.
Risma, teman kita terjatuh dari panggung saat mengikuti festival
folksong. Panggung memang terlalu sempit bagi group kita yang
beranggotakan enam orang. Aku sebagai pemetik gitar, alat musik
pengiring, berada paling pinggir. Kau di sebelah kiriku, Rikson, Chika,
Risma dan Marni paling ujung kanan. Marni yang bersuara sumbang itu
ngotot harus ikut tampil. Kita sepakat dengan syarat, mikrofon harus di
jauhkan dari mulutnya. Prakteknya saat di panggung tidaklah demikian.
Dia merebut mikrofon dari tangan Risma dan menguasaiya.
Karena sebal dengan suara sumbangnya yang dominan, aku sentuh pinggulmu
dengan gitar untuk memberi isyarat. Kau pun mengerti maksudku tentang
suara sumbang Marni. Kau mengestafetkan pesan ke Rikson hingga ke Risma
dengan mencolek atau menyenggol pinggul. Risma pun menyenggol pinggul
Marni beberapa kali tapi yang disenggol tidak juga mengerti. Masih saja
mikrofon didekatkan ke mulutnya. Suaranya pun makin dikeraskan seolah
berteriak histeris, padahal lagu saat itu berirama pop, bukan irama
rock.
Jengkel bercampur putus asa, Risma menyenggolkan pinggulnya ke pinggul
Marni dengan sekuat tenaga. Marni pun hampir jatuh dan its.. eits...,
akhirnya jatuh juga. Dia tak mau jatuh sendirian, diraihnya tangan Risma
tapi tak dapat. Yang dapat diraih hanya ujung roknya Risma, dan mereka
pun terjungkal bersama. Tubuh Risma dengan posisi nungging menindih
tubuh Marni yang gemuk. Pakaian dalam Risma tersingkap dan Rikson pun
tertawa geli. Lama dia tertawa melihat pemandangan itu tanpa bergegas
untuk menolong. Sebulan dari kejadian itu, Rikson dan Risma makin akrab.
Berpacaran, dan tujuh tahun berikutnya mereka menikah.
Namanya jodoh bisa-bisa saja, katamu tertawa menutup nostalgia kita di
subuh yang hangat. Subuh pun berlalu penuh hangat. Kau tertidur pulas di
sofa kamar VIP tempatku dirawat. Kupejamkan mata melanjutkan sendiri
kisah yang terpenggal. Kisah kita, Lowry.
Kita berpisah saat SMA. Kau sekolah SMA favorit di Medan, tempat ayahmu
pindah tugas. Aku sekolah di SMA Sumbul. Hampir setiap minggu kita
bertukar kabar melalui surat. Setiap suratmu selalu kubalas dengan
segera. Pak Pos pengantar surat sudah sangat kenal dengan tulisanmu yang
khas. Sering amplop suratmu bertuliskan: Terima kasih, Pak Pos yang
baik. Isi surat kita pun hanya berkutat di seputar sekolah.
Sebenarnya aku mulai muak dengan pembicaraan kita di surat. Pernah aku
hampir tidak membalas suratmu karena menanyakan nilai-nilai raporku.
Nilai matematikaku hanya nilai lima. Aku tahu, kamu pasti akan
menertawakan nilai itu. Terlintas di pikiranku untuk membohongimu dan
menyebut nilai matematikaku sembilan di rapor. Aku tak tega berbohong
kepadamu. Akhirnya, aku menuliskan semua nilai-nilai raporku di surat.
Benar dugaanku, kau menertawai nilaiku tapi juga panjang lebar
menasihatiku untuk belajar lebih giat di suratmu berikut. Kubalas
suratmu dengan seolah-olah akan mengikuti anjuranmu, padahal sama sekali
aku tak berniat melakukannya. Yang penting kau senang dan tidak
menanyakan itu lagi. Berikutnya, kau kirimkan aku buku-buku yang kau
pelajari di sekolahmu dan buku soal dari tempat kursusmu. Semula aku
ingin muntah mempelajari soal-soal itu. Di buku-buku itu, banyak kau
tuliskan puisi indah. Namaku juga kau tulis di beberapa halaman. Aku
suka tulisan tanganmu. Ada gambar hati yang terpanah di halaman paling
belakang. Di dalam gambar hati itu kau tulis namamu dan namaku. Apa
gerangan yang kau pikirkan saat menuliskan nama kita. Apakah kau juga
merasakan seperti yang kurasakan?
Seperti tersudut, aku dikepung rindu dari segala penjuru. Kutulis surat
mendahului suratmu padaku. Isinya tidak seperti yang lalu-lalu. Kali ini
kutulis penuh rindu yang menggebu. Bila bernasib baik, kau juga rindu
padaku. Di dalam surat kukatakan aku sedang sangat ingin memeluk seorang
ibu. Sering aku terbangun di tengah malam dan keluar rumah hanya untuk
memandang bulan. Sejak kecil, bila menayakan ibuku ada di mana, nenek
selalu menjawabnya di bulan. Tak cukup rasanya hanya kuutarakan rasa
sepi di dalam surat. Satu bulan baru kau membalas suratku. Tak ada kata
rindu dalam suratmu. Dingin. Tapi, aku mendapatkan bekas air di suratmu.
Aku sangat yakin, itu bekas air matamu yang jatuh karena kau juga rindu
padaku. Semoga.
Kubalas suratmu, yang menurutku ditetesi air matamu, dengan kalimat
singkat: Hari libur, Kamis minggu depan, aku akan mendatangimu karena
rindu.
Tanpa malu, kau memelukku di halaman rumahmu di bawah bougenville yang
berbunga lebat. Pelukanmu sangat erat tapi hanya sedikit matamu berair.
Orangtuamu, adik-adikmu dan pembantu sangat ramah padaku. Kau ajak aku
ke kamar Ando, adikmu yang sering kubuatkan layangan dan kuajari
menggambar. Adikmu tak keberatan ketika kau minta untuk berbagi kamar
denganku. Ando mengambil gitarnya dan menyodorkannya padaku berharap aku
mau mengajarinya juga. Dia sedang getol-getolnya belajar
memetik gitar. Tak lama, kau tarik tanganku dan beranjak ke luar rumah.
Kita bernyanyi di bawah bougenville. Aku melihat ke dalam bening bola
matamu. Tak kutemukan apa-apa di sana. Atau aku yang kurang pintar
menyelaminya.
Kau mengajakku ke tempatmu kursus, ke tempat teman sebangkumu Lily, ke
perpustakaan umum. Oh ya, aku mulai gemar membaca sejak kau mengirimiku
buku bekas kursusmu. Dan aku banyak menulis puisi. Untukumu dan
tentangmu semua. Sepulang dari perpustakaan umum, kita ke pasar buku
bekas. Dengan uang jajanmu, kau belikan aku banyak buku. Di sana juga
kita menyempatkan diri untuk berfoto Polaroid, langsung jadi. Mat Kodak
tampak senang dengan keceriaanmu. Enam posemu semua menarik. Selain saat
memelukku, pose saat aku menggendongmu di punggung juga aku suka. Kau
langsung meloncat di punggungku ketika itu dan menyuruh Mat Kodak
memotretnya. Kau berikan tiga lembar foto itu untukku dan tiga untukmu.
Saat tiba waktu pulang, hatiku bagai diiris-iris sembilu. Kau
mengantarku ke terminal bis bersama Ando. Aku pulang dengan balutan
galau yang tebal. Sepanjang perjalanan pulang aku gelisah mengingat
peristiwa malam itu. Aku memberanikan diri menanyakan masalah hubungan
kita. Aku katakan lagi padamu, bila ditanya teman tentang pacar, aku
mengatakan sudah punya dan kau kusebut pacarku, Lowry. Kau hanya tertawa
terbahak. Aku pura-pura melucu dengan apa yang kukatakan karena kau
menganggapnya demikian. Kau anggap aku sedang melawak padahal aku
berharap kau mengiyakan status hubungan kita: berpacaran.
Mungkin karena terlalu sibuk dengan belajar, satu semester terakhir
kelas tiga SMA, kau hanya mengirmku sepucuk surat. Hanya sekali. Kau
memberitahukan bahwa kau masuk perguruan tinggi ternama di Jakarta
dengan jalur khusus. Fakultas Kedokteran. Itu suratmu yang paling
terakhir di masa kita SMA. Pernah kucoba menulis surat ke alamat rumahmu
di Medan dulu, surat yang kukirim kembali kepadaku karena kalian sudah
pindah entah kemana.
Aku mendatangi alamatmu dulu dengan harapan mendapatkan iformasi dari
tetangga kemana kalian pindah. Hasilnya nihil. Seperti kehilangan
sesuatu yang sangat berharga, aku tertunduk lesu. Kupetik setangkai
bunga bougenville warna pink yang pernah mendengar lagu kita. Bukit
berbunga.
Sepuluh tahun kemudian, entah bagaimana kau menemukan sekolah tempatku
mengajar di Medan, kau mengirimkan suratmu dengan beberapa lembar foto.
Setelah membaca suratmu, aku tak bergairah lagi untuk mencari tahu
alamatmu dan suratmu pun tak tuntas kubaca. Di balik foto kau tulis nama
lelaki di sebelahmu bernama Benny, calon suamimu. Tanganku gemetar.
Laksana ditimpa beban berat, aku sesak. Sesak sekali tap tak ingin
rasanya aku menarik nafas untuk paru-paruku. Aku meratapi diri dengan
diam yang hakiki. Sejak itu, kucari kesenangan lain untuk mengubur
catatan-catatanku tentangmu. Bersama teman-teman kuliah pasca sarjana,
aku mendaki, memanjat tebing dan photografi.
Sebelum pulang dari rumah sakit, kau mengemasi barang-barangku dan akan
mengantarku ke tempat kostku setelah mampir sebentar di rumah
orangtuamu. Namanya kebetulan selalu saja indah buatku, ternyata kita
bekerja di satu kota yang sama. Kau terduduk di sofa dengan wajah sunyi.
Kulihat matamu berkaca-kaca. Kau tertunduk menyembunyikan sejuta luka
dan sesal. Kedekati kau dan duduk di sebelahmu. Kubiarkan bahuku
tempatmu menumpahkan air mata. Hatiku pilu mendengar semua penuturanmu.
Katamu, sejak dulu kau cinta sama aku dan mengaku-ngaku kepada temanmu
perempuan kalau aku adalah pacarmu. Menurut pengakuanmu, kau mencintaiku
sejak terjatuh dari pohon jambu. Kelas tiga sekolah dasar? Aku tak
percaya dan tawaku hampir meledak-ledak.
"Tapi bagaimana dengan Benny calon suamimu?" tanyaku penuh selidik.
"Benny mati terbunuh!" jawabmu tanpa rasa sedih.
"Ando yang menembaknya dengan pistol yang diberikan Luna, istri Benny." lanjutmu lagi.
"Hah? Ando yang membunuh?" Aku sangat heran lelaki bernama Ando, maaf kalau aku menyebutnya kewanita-wanitaan, mampu membunuh.
"Iya, Ando yang membunuh karena tak bisa menerima kakaknya dibohongi
oleh lelaki yang sudah beristri tapi mengaku lajang. Sekarang Ando masih
di penjara."
Aku tak tahu harus berduka atau bersuka cita mendengar kabar ini.
"Sepulang dari sini, kita langsung besuk Ando saja!" kataku lalu
menciummu. Kau bergeming tak menolak atau marah. Kuseka air matamu, sama
seperti nenek menyeka air matamu dulu.
Sepanjang perjalanan menuju penjara, tempat Ando ditahan, aku
memandangimu yang anggun di belakang setir. Di lekuk keritingmu, masih
tertulis sebuah janji: Kau akan merawatku. Bukan sekedar merawat, kau
sudah menjadi obat bagiku, Lowry.
Jakarta, September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar